Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.
Namun sayang
peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain
itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak
musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger
gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap
dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).
Berdasarkan
data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan.
Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763),
bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali
(1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan
( Ibid.1923 :1045 ).
Pada tahun
1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II
kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk
sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola
sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan
VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke
Blambangan (Ibid 1923:1046).
Namun
barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan
mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di
bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda,
Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut
Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang
terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut
seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera
merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat
perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.
Dengan
demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal
dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat,
perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada
tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke
Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak
akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti
terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat
yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan
bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18
Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.
Karakter
Banyuwangi lebih kurang bisa dilihat dari makanan khasnya. Rujak itu dari
Sidoarjo sedangkan Soto dari Madura. Disini rujak dan soto dicampur, jadilah rujak
soto khas Banyuwangi. Atau pecel dicampur rawon jadilah pecel rawon
yang cuma ada di Banyuwangi.
Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi.
Topografi Banyuwangi yang unik didukung oleh kekuatan karakter masyarakat multikultur yang jumlahnya sekitar 1,5 juta jiwa dan tersebar diwilayah seluas 5.782,50 km2. Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura – Pandalungan ( Tapal Kuda ) dan Osing.
Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan didaerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore. Sementara masyarakat Osing sendiri dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng.
Walaupun menjadi etnis khas Banyuwangi, secara proporsi, penduduk suku Osing bukan mayoritas di 24 kecamatan. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa jumlah suku Osing di Banyuwangi. Namun sebagai gambaran, jumlah warga Osing sekitar 20 % dari total populasi. Terbanyak Jawa ( 67 % ) dan sisanya Madura ( 12 % ) dan suku lain ( 1 % ).
Meski berkelompok dalam kantong wilayah tertentu, masyarakat Osing tidak bersifat ekslusif seperti masyarakat Tengger yang hidup di dataran tinggi Tengger ( dekat gunung Bromo ) atau masyarakat Baduy di Banten. Osing sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain.
Karakter egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam masyarat Osing. Ini tampak dalam bahasa Osing yang tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Osing pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali ( Heru SP Saputra, Shrintil, 2007 ).
Masyarakat Banyuwangi beragama Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budayapun kental.
Adapun kuliner khas kota ini meliputi :
Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi.
Topografi Banyuwangi yang unik didukung oleh kekuatan karakter masyarakat multikultur yang jumlahnya sekitar 1,5 juta jiwa dan tersebar diwilayah seluas 5.782,50 km2. Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura – Pandalungan ( Tapal Kuda ) dan Osing.
Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan didaerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore. Sementara masyarakat Osing sendiri dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng.
Walaupun menjadi etnis khas Banyuwangi, secara proporsi, penduduk suku Osing bukan mayoritas di 24 kecamatan. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa jumlah suku Osing di Banyuwangi. Namun sebagai gambaran, jumlah warga Osing sekitar 20 % dari total populasi. Terbanyak Jawa ( 67 % ) dan sisanya Madura ( 12 % ) dan suku lain ( 1 % ).
Meski berkelompok dalam kantong wilayah tertentu, masyarakat Osing tidak bersifat ekslusif seperti masyarakat Tengger yang hidup di dataran tinggi Tengger ( dekat gunung Bromo ) atau masyarakat Baduy di Banten. Osing sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain.
Karakter egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam masyarat Osing. Ini tampak dalam bahasa Osing yang tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Osing pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali ( Heru SP Saputra, Shrintil, 2007 ).
Masyarakat Banyuwangi beragama Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budayapun kental.
Adapun kuliner khas kota ini meliputi :
Makanan dan Minuman Khas Banyuwangi
Nasi dan
Sayuran (jangan) khas Banyuwangi:
1. Sego
Tempong
2. Sego
Cawuk
3. Sate
Kalak
4. Pecel
Pitik
5. Sambel
Lucu
6. Jangan Kelor
7. Jangan Pakis
8. Jangan Bobohan
9. Jangan Jawar
10. Jangan Leroban
11. Jangan Pol
12. Jangan Klenthang
13. Jangan Bung
14. Uyah Asem Pitik
15. Pindang Koyong
16. Bothok Simbukan
17. Pecel Thotol
6. Jangan Kelor
7. Jangan Pakis
8. Jangan Bobohan
9. Jangan Jawar
10. Jangan Leroban
11. Jangan Pol
12. Jangan Klenthang
13. Jangan Bung
14. Uyah Asem Pitik
15. Pindang Koyong
16. Bothok Simbukan
17. Pecel Thotol
Makanan
Ringan
1. Bagiak
2. Kelemben
3. Satuh
4. Manisan Cerme
5. Manisan Pala Kering
6. Manisan Tomat
7. Ladrang
8. Kacang Tanah Open Asin
9. Dodol Salak
10. Sale Pisang
11. Loro Kencono
12. Karang Emas
13. Kolak Gepuk
14. Widaran
1. Bagiak
2. Kelemben
3. Satuh
4. Manisan Cerme
5. Manisan Pala Kering
6. Manisan Tomat
7. Ladrang
8. Kacang Tanah Open Asin
9. Dodol Salak
10. Sale Pisang
11. Loro Kencono
12. Karang Emas
13. Kolak Gepuk
14. Widaran
Makanan
Basah
1. Awung (iwel-iwel)
2. Lanun
3. Serabi
4. Jenang Bedil
5. Jenang Mutioro
6. Jenang Selo
7. Ketot
8. Apem Takir
9. Lak-lak
10. Rondo Royal
11. Precet
12. Sumping
13. Bikang
14. Kolak Duren
15. Kolak Setup
16. Setupan Polo
17. Kontol Kambing
1. Awung (iwel-iwel)
2. Lanun
3. Serabi
4. Jenang Bedil
5. Jenang Mutioro
6. Jenang Selo
7. Ketot
8. Apem Takir
9. Lak-lak
10. Rondo Royal
11. Precet
12. Sumping
13. Bikang
14. Kolak Duren
15. Kolak Setup
16. Setupan Polo
17. Kontol Kambing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar